(Tulisanku ini memenangkan lomba Kisah Inspiratif Madrasah tahun 2013, dan masuk finalis 10 terbaik nasional)
Pembelajaran guruku tentang cinta telah
membawa pada sederet hal yang tak pernah kubayangkan. Aku yang dulu hanya anak
ingusan, peringkat 120 dari 200 siswa di SMP kini bisa berdiri dan duduk pada
taraf pengetahuan yang cukup ideal dengan prestasi akademik peringkat satu
se-MAN; dalam bidang organisasi aku berhasil mempromosikan diri menjadiketua
OSIS dan memimpin majalah sekolah.
Aku
masuk menjadi mahasiswa Sastra Indonesia UGM angkatan 2011. Cukuplah aku
sedikit mengerti dari lautan teka-teki hidup ini, bahwa segala sesuatu seperti
kata guruku “ikutilah hati nurani maka tak pernah kau tersesat dalam
kesedihan”. Sekali lagi aku tak bisa mebenarkan pernyataanya, tetapi begitulah
kenyataanya. Aku merasa bahagia dan berdiri pada tempat yang membuatku semakin
bersyukur. Kini dengan usiaku yang muda aku satu-satunya mahasiswa S1 yang
diangkat menjadi asisten dosen dalam berbagai mata kuliah sastra dan bisa
berorganisasi dalam bidang yang dicintai dalam puisi dan jurnalisme.
Menjadi
guru pada sebuah madrasah adalah sebuah keinginan terpendam yang sangat dalam
bagiku. Begitu dalamnya keinginan itu sehingga sedikitpun tak berani aku
ceritakan apa yang tertulis di dinding hati sebagai sebuah epitaf itu pada
keluarga, kekasih yang menjadi calon istriku waktu itu, sahabat-sahabatku atau
siapapun. Karena, keingininan itu nyaris sesuatu yang utopis.
Takdir
menuntunku kuliah di jurusan teknik sebuah institut keguruan ternama di
Yogyakarta. Rangkaian istikharah yang panjang mengantarkan pensil 2B di
tanganku untuk mengisi jurusan itu saat menempuh jalur UMPTN tahun 1991. Tentu
saja teman-teman sekelasku juga keluargaku tak percaya dengan pilihan kuliah
bidang keguruan teknik itu. Mengingat tak sedikitpun aku memiliki bakat teknik
dan tak memiliki cita-cita menjadi guru. Aktivitasku lebih banyak pada bidang
humaniora, organisasi dan mendalami jalan sufi.
Praktik
Pengajaran Lapangan (PPL) menjadi titik balik kesadaranku setelah tiga tahun
kuliah. Sebagai mahasiswa calon guru teknik tentu saja PPL mendapat tempat
sebuah di STM (sekarang SMK). Menerapkan ilmu-ilmu keguruan yang kudalami
kepada dunia nyata anak-anak sekolah yang lebih dominan menggunakan okolnya daripada
akal (apalagi budi) membawa perenungan yang subtil dalam hidupku. Aku merasa
tidak tepat jika harus berada di sebuah sekolah yang ‘keras’ macam ini.
Alangkah indahnya jika menjadi guru madrasah, batinku. Siswa-siswanya yang
takzim dan lembut, berada dalam suasana penuh ulama setiap hari dan senantiasa
diperdengarkan ayat-ayat suci serta diperlihatkan hikmah-hikmah kaligrafi di
dinding. Ah...alangkah damainya hidup semacam itu, lagi-lagi itu hanya ada
dalam batinku. Setiap pagi berangkat kerja dengan setiap langkah adalah ibadah,
dan setiap tanggal muda mendapat gaji penuh berkah. Masya Allah, rasanya syurga
di dunia sudah begitu dekatnya, begitulah anganku. Tetapi tentu saja hal itu
mustahil. Aku adalah guru teknik dan tentu saja madrasah tidak membutuhkan guru
teknik.
Takdir
Allah melalui pensil 2B yang menggerakkan tanganku memilih jurusan keguruan
teknik rupanya terbuka sesaat setelah aku wisuda sarjana. Dibukalah seleksi
guru teknik untuk madrasah pertama kalinya oleh Departemen Agama (waktu itu)
pada tahun 1997. Alhamdulillah aku diterima dan menjadi guru madrasah.
Nampaknya epitaf di dinding hatiku dibaca malaikat dan disampaikan kepada
Allah. Walllahu’alam. Faktanya, aku adalah guru madrasah, dan aku bangga.
(untuk melanjutkan klik Permalink)
(untuk melanjutkan klik Permalink)
Guru
adalah panggilan jiwa. Begitulah aku memaknai profesiku saat ini. Aku
benar-benar mencintai profesiku sebagai guru. Menempuh gelar master menjadi
salah satu titian untukku lebih menyelami dunia keguruan yang aku cintai.
Dosen-dosen keguruan mumpuni di UNY memberiku banyak sekali pemahaman yang
mendasar tentang fungsi guru bagi peserta didiknya. Kali ini kuliah masterku
betul-betul tentang keguruan an sich. Minatku pada bidang humaniora betul-betul
terpuaskan di sini jika dibandingkan saat kuliah sarjana meski pendidikan
teknik namun sentuhan keguruannya begitu minimal.
Menjadi
inspirasi bagi murid-muridku itu yang selalu ingin kuperankan. Membangun
karakter dan semangat generasi muslim yang ulil albab itu menjadi bendera yang
selalu kukibarkan saat berangkat kerja menuju madrasah. Kebetulan Visi Madrasah
Aliyah Negeri Yogyakarta 1 tempat dimana aku mengabdikan diriku juga ULIL
ALBAB, meskipun ini adalah akronim dari visi Unggul, Ilmiah, Amaliah dan
Bertanggung jawab. Aku selalu betah berada di madrasah. Berlama-lama hingga
pulang menjelang Maghrib untuk menyelesaikan tugas-tugasku di madrasah atau
sekadar mendampingi murid-murid yang juga senang hingga petang berkegiatan di
madrasah dengan segala macam varians.
Mencermati
murid-muridku tumbuh dan berkembang menjadi salah satu yang aku suka. Setiap
murid baru aku minta mereka membuat essai tentang dirinya, motivasinya belajar
di madrasah dan mimpi-mimpinya tentang masa depan. Menjelang mereka lulus aku
ikut mendalami dan menjiwai keresahan mereka memilih jurusaan kuliah. Sesekali
kuberikan gambaran-gambaran tentang jurusan yang mereka inginkan, prospek
keilmuan yang bakal dipelajari dan kemungkinan masa depan yang akan digeluti.
Mereka merasa senang didampingi menjelang kelulusan semacam itu. Tak jarang
murid yang sudah kuliah datang ke madrasah untuk menceritakan suka-dukanya
kuliah di jurusan yang saat ini sedang mereka geluti. Aku selalu antusias
mendengar kisah-kisah mereka di bangku kuliah dan bagaimana proses adaptasi
mereka bersaing dengan sekolah-sekolah lain di luar madrasah. Kadang-kadang
bahkan mereka menyiapkan undangan khusus untukku menyaksikan pentas yang mereka
adakan di kampus. Ini adalah bagian yang paling membahagiakan. Bagaimana aku
bisa menyaksikan kepiawaian murid-muridku di atas panggung dengan perform musik, atau teater, ataukah
bentuk-bentuk penampilan yang lain yang jika kubandingkan dengan saat mereka
masih berada di madrasah betapa melasatnya mereka tumbuh sebagai individu
pembelajar.
Suatu
ketika aku tangah asyik masyuk menikmati pentas teater dimana salah satu
muridku berperan sebagai peran utama dengan judul “Kremi, Wanita Pemanggil
Salju” yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Prancis UNY. Duduk di sampingku
seorang lelaki muda yang kupikir dia mahasiswa UNY jurusan Prancis juga.
Rupanya dia mahasiswa UGM yang juga menyukai hal-hal humaniora semacam ini.
Ternyata dia juga lulusan madrasah dan kuliah di jurusan Sastra Indonesia UGM.
Namanya Ronal Sadam lulusan dari MAN Wonosobo Jawa Tengah. Tentu saja aku
dengan lancar bisa menyebut nama-nama muridku yang kuliah di jurusan yang sama
dengan dia atau setidaknya fakultas yang sama. Dia mengenal beberapa anak yang
kusebutkan. Saat kuceritakan aku juga sering melihat pementasan mahasiswa FIB
UGM di Aula atas FIB dia juga membenarkan bahwa pada waktu itu kita satu forum.
“Bapak, nyaris seperti
guru saya yang menjadi inspirasi hidup saya sehingga bisa menjadi seperti ini
sekarang yang bagi sebagian besar orang Wonosobo mustahil bisa kuliah di UGM”
dia mulai membuka diri untuk menceritakan tentang siapa dirinya sebagai siswa madrasah
yang kuliah di UGM. Ini adalah kisah yang ingin aku dengar, mengingat betapa
hebatnya seorang siswa madrasah dan anak ‘gunung’ bisa menembus persaingan yang
ketat masuk UGM.
“-Hidup itu punya kehendak sendiri, tapi Tuhan
memberi kebebasan manusia untuk memilih!-,
itulah kata-kata pertama dari seorang guru yang menjadi teman dan
sahabat bagi kami. Hubungan kami tidak lagiseperti layaknya seorang guru dan
murid yang selalu berdiri pada batasan norma-norma dan status sosial. Sebagai
guru, ia tak mengharuskan dirinya menjadi panutan apalagi menjadi tiruan bagi
murid-muridnya”, dia mulai berkisah tentang seorang guru yang dia katakan mirip
dengan saya. Namanya Dhimas. Dia asli Wonosobo begitu katanya. Aku mulai
tertarik mendengar kisah itu. Kisah
tentang guru inspiratif bagi muridnya selalu menyenangkan disimak dan diambil
hikmahnya. Seperti halnya minat menjadi guru mulai aku dapatkan saat membaca
cerpen “Guru Tarno” karya Purwadmadi Atmadipurwa yang menjadi salah satu cerpen
pilihan Koran Bernas Yogyakarta.
Namun sayangnya malam mulai larut. Pentas teater adaptasi naskah
Prancis itu sebenarnya tak begitu panjang namun pentas-pentas yang menyertainya
membuat perhelatan itu ditutup menjelang tengah malam. Aku menawarinya untuk
ikut makan siang di foodcourt UGM esok hari, yang kebetulan aku juga punya
janji bertemu dengan salah satu muridku penyandang disabilitas yang diterima
kuliah di Fakultas Hukum UGM. Aku senang mendengar kisah perjuangan murid
difabelku ini yang merasa tepat masuk MAN Yogyakarta 1 dengan kondisi fisiknya
yang semacam itu dan rupanya nasihat-nasihat agama membuatnya semakin percaya
diri bahwa Allah tak pernah salah menciptakan makhluk-Nya.
Sepeti yang sudah dijanjikan kami bertemu di foodcourt UGM usai sholat
Dzuhur. Aku bersiap-siap mendengar cerita lebih detil lagi kisah tentang Pak
Dhimas guru MAN Wonosobo itu.
“Takdir baruku dimulai sejak lima tahun yang lalu. Pada saat itu, aku masih di bangku kelas XE Madrasah Aliyah
Negeri (MAN) Wonosobo. Cukuplah hatiku menerima duduk di MAN sebab nilai UANku
tak terlalu bagus, lulus dari SMP dengan
peringkat 120 dari 200 siswa”, Ronal mulai menceritakan kisah panjangnya.
Dengan perut yang sudah diganjal sepiring toprak dan semangkuk sup buah kami
bertiga bisa bercerita dengan santai. Kebetulan tunjangan sertifikaasiku belum
lama cair sehingga dengan suka cita aku traktir mereka makan siang di tempat
makan yang penuh dengan mahasiswa diskusi ini.
Masuk MAN Wonosobo adalah sebuah anugrah dan
petaka pikirku. Anugerah karena tak menyangka bisa melanjutkan sekolah. Petaka
ketika harus berbicara masalah keuangan. Ada sederet tagihan buku-buku dan
sumbangan-sumbangan yang harus dibayar lunas setiap semesteran.
Masa Orientasi Siswa (MOS) dibuka. Ada
pengenalan guru dan norma-norma sekolah. Namun, aku cukup bingung pada sederet
kata-kata motivasi dari kakak angkatan apalagi dari guru-guru yang tiba-tiba
berapi-api mengharamkan kemalasan dan membenci ketidaktertiban sehingga
satu-satunya takaran kesuksesan adalah tingginya nilai-nilai rapot dan rata-rata
nilai UAN Madrasah.
Menjadi berbeda adalah hal yang salah di
sekolah. Hampir-hampir saja aku hanya sekedar berangkat sekolah dan mendapat
ijazah. Itu pun kalau aku betah di sekolah dengan rutinitas; pagi berangkat,
duduk di kelas, mendengarkan guru, mengiya-iyakan penjelasan, dan mengikuti
ujian tiap akhir semester. Ah, sebuah rutinitas yang membuatku merasa berada
dalam tungku pembakaran yang sedikit pun aku tak pernah menginginkannya.
Untunglah, ada takdir lain ketika seorang guru yang kini menjadi seperti teman
dan sahabat sendiri datang ke MAN Wonosobo setelah pindah dari MAN Pandeglang.
Sebagai seorang guru ada hal yang sangat
berbeda dari pada guru-guru lainya. Sikapnya tenang, tak pernah menilai
seseorang berdasarkan akumulasi nilai-nilai mata pelajaran, ramah tapi tidak
merendah, dan ada hal yang paling membuat berbeda dengan semua guru lainya;
guruku berdiri pada antitesis dari norma-norma yang selama ini diberlakukan di
dalam madrasah. Banyak perubahan dan pengaruh yang diberikan dan cukup memberikan
kemajauan dalam beraneka ragam. Alasan ini bukan berarti aku membelanya atau
membenarkanya. Akan tetapi, Sikap yang diambilnya bukan berarti karena benci
dengan aturan-aturan yang telah ada, tetapi mencoba kembali menemukan kaidah
baru dalam dunia pendidikan sehingga ada kemajuan yang mungkin akan membawa
pada kemaslahatan bersama.
“Kehidupan yang mulia dimulai dari cinta
sejati” kata Pak Dhimas.
“Cinta!
Indah sekali itu! Bagaimana jika aku lebih memilih kata mahabah?”, sesekali aku
menyergah untuk sekadar memberi kesempatan padanya menyerupuk sup buahnya
sembari memberi penekanan pada kata-kata kunci yang menurutku bisa diberi garis
bawah.
Dalam hal ini pun aku tak sepenuhnya
membenarkan pernyataannya, tapi sepertinya tidak bisa kubantahkan pernyataanya.
Ya, kehidupan bahagia adalah kehidupan yang dimulai dengan rasa cinta. Dulu,
aku hanya bersekolah. Berangkat dari rumah membawa buku-buku pelajaran, mendengarkan
guru, dan mencatat kata-kata penting yang mungkin akan dikeluarkan menjadi soal
ketika ujian. Sekolah menjadi semacam rutinitas tak berjiwa.Wajar saja pikirku,
jika selama itu aku hanya belajar jika ada tugas. Nilai-nilaiku hanya cukup
sebagai syarat naik kelas. Namun demikian, teman-temanku yang bernilai bagus
pun tak urung dari masalah, sering kujumpai mereka menjadi pendiam, pemurung,
dan mudah menyerah ketika ada nilai yang
buruk diterimanya.
Masuk
MAN Wonosobo adalah sebuah pelarian. Pelarian dari pada tidak bersekolah.
Mungkin bukan aku saja yang dulu merasakan perasaan yang sama. Aku sering
melihat anak-anak MAN tertunduk malu ketika dalam sebuah bus ada sekumpulan
anak-anak SMA atau SMK. Secara tidak langsung, ada siratan makna pemahaman yang
hidup dan mengakar menekan hati pada anak-anak MAN. Ada sebuah paradigma bahwa
MAN adalah sekolah marjinal berisi sekumpulan anak buangan yang kalah dari
persaingan masuk SMA atau SMK. Aku heran. Sejak kapan anak-anak MAN menerima
dan memahami dirinya lebih rendah daripada anak SMA dan SMK? Atau setidaknya
ada pertanyaan lebih umum lagi; sejak kapan orang merasa lebih rendah
kedudukanya daripada orang lain?
Cukup
lama aku merenung dan andai saja Pak Dhimas yang lebih seperti teman dan
sahabat itu belum datang mungkin aku masih dalam renunga panjang tanpa jawaban.
Bagaimana aku yang hanya anak pedagang jamu akan membayar setumpuk uang
sekolah? Bagaimana aku akan sukses dalam tekanan dan himpitan aturan-aturan
yang selalu memaksa siswa dalam tekanan? Bagaimana aku merasa bahwa MAN, SMA,
dan SMK berdiri pada derajat yang sama? Bagaimana Aku merasa hidup ini lebih bermakna bukan hanya sebuah rutinitas
belaka?
Aku
secara tidak sadar seperti terlahir kembali. Pada sederet cerita panjang dan
obrolan yang melebihi jam pelajaran yang sering aku habiskan dengan guruku.
Pelajaran tidak berhenti pada sebatas ruang dan bangku-bangku yang ditata di
dalam kelas, bukan lagi pada sebatas papan tulis yang sering dihentakkan agar
siswa-siswa menulis. Akan tetapi, guruku memiliki cara lain dalam mengajar. Beliau
sering melanjukan percakapan di jalan,
di rumah, di angkringan, di kafe, dan bahkan di atas gunung sekalipun. Anehnya,
tak pernah diskusi itu selesai pada satu titik kebenaran sehingga akan tetap
dilajutkan pada kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa didapatkan dari pada sekadar
jawaban.
Aku memulai sesuatu yang baru. Dengan norma
yang sederhana dari percakapan-percakapan ringan
“Mulailah hidup dengan cinta, maka kesulitan
dan kemudahan serasa tak ada bedanya”
Mulailah
hidup dengan cinta, hm...seperti aku memulai mencintai sebagai guru. Tanpa
sadar aku dibawa ke alam dimana saat awal dia katakan pada di pementasan itu
bahwa aku seperti Pak Dhimas, aku mulai mengkalibrasi cerita-ceritanya dengan
apa yang aku lakukan sebagai guru.
Aku mulai mencintai keadaanku,
seburuk-buruknya ekonomi keluargaku aku tak gentar karena aku sudah mencintai
belajar. Cukuplah aku belajar dengan bahagia tanpa tekanan. Aku terkadang juga
tidak terlalu tertib dan hanya belajar, tetapi setiap kali aku belajar aku akan
sungguh-sunguh belajar bukan lagi karena tuntutan tetapi pada kesadaran akan
keinginan untuk mengetahui sesuatu yang baru.
Rutinitas
sekolah dan belajar tidak lagi membosankan ketika kesadaran terhadap kebahagian
memperoleh ilmu tertancap di dada. Hal-hal baru selalu kucoba. Aku terpilih
menjadi ketua OSIS dan ketua redaksi majalah sekolah. Kegiatan-kegiatan sekolah
tidak lagi terfokuskan pada rentetan tuntutan kurikulum dan pembelajaran yang
membosankan tetapi lebih pada keinginan hati menemukan hal baru yang dicintai
sehingga belajar serasa bermain. Belajar hal-hal baru dengan cara baru, tak ada
aturan pelajaran, bagaimana aku belajar, di mana aku belajar, dan bahkan
akhirnya aku menemukan bahwa; lautan bumi dan langit ini adalah sekumpulan
teks-teks yang bisa dibaca dan diinterpretasikan menjadi pembelajaran untuk
manusia.
![]() |
Ronal menang dalam pemilihan ketua OSIS |
Aku lulus dengan predikat siswa terbaik di MAN
Wonosobo. Sebuah prestasi dalam jenjang karir pendidikanku yang tidak pernah
aku capai sekali pun. Ada semangat baru dalam angan-anganku ketika hendak
melanjutkan kuliah.Harapanku tumbuh kembali untuk melanjutkan sekolah. Seperti Pak
Dhim guruku yang dulu hanya anak penjual bumbu-bumbu masakan di pasar,
tidaktakutakanapapungurukuberanimelanjutkanpendidikan di UniversitasNegeri
Yogyakarta. Aku pun
terinspirasiakankeberaniangurukumenaggapiketerbatasanfinansialdengantetapmelanjutkansekolah.
Akuakhirnyamendaftarkan diri di Universitas Gadjah Mada jurusan Psikologi.
Namun, aku gagal masuk. Kemudian,
Aku mendaftar di UIN, tetapi gagal masukjuga. Hingga aku memutuskan belum mau melanjutkan
kebangku kuliah. Namun, ketika kegagalan kutemukan guruku tidak tinggal diam.
Beliau pun menceritakan kegagalan-kagagalan yang lebih banyak dialaminya.
Dengan satu tuturan yang terus kuingat betul dalam benak. Ringan tapi terus
terngiang-ngiang.
“Hari ini kamu belum diterima bukan berarti
kamu bodoh, hidup ini adalah tanda-tanda. Sudahkah kamu memahami
tanda-tandanya?”
Wow...dia sangat filosofis. Aku benar-benar terhipnotis
oleh cerita seorang mahasiswa dari ‘gunung’ ini. Bagaimana mungkin seorang
siswa bisa bercerita tentang gurunya begitu menjiwai jika tidak karena sang
guru ini mencintai murid-muridnya sepenuh jiwa? Diam-diam aku mulai timbul rasa
iri ingin mempelajari sosok Pak Dhimas.
Sejak ditolak dari beberapa perguruan tinggi
itu, selama setengah tahun aku pergi mengembaraberjualan jamu di Lampung dan
Bengkulu. Kuliah di perguruan swasta tentu bukan impianku. Kondisi ekonomi yang
sangat minimal hanya jalur perguruan negeri yang mungkin bisa kuraih seraya
mencari-cari keringanan biaya kulah. Menelusuri desa-desa dan pedalaman yang
jauh dari kota. Aku menemukan kehidupan baru. Orang-orang bekerja siang malam.
Menggarap lahan, menanam kopi, memupuk sawit, dan menderes getah karet.
Anak-anak bermain riang dalam kesepian dan keheningan di tengah jauhnya ramai
kota. Tak ada pemandangan yang mungkin membuatku merasa malu selama ini, aku
merasa cukup bekerja keras belajar. Namun, kerja kerasku kalah dengan anak-anak
pedalaman yang setiap hari harus berangkat sekolah pukul lima pagi. Mental yang
selama ini aku yakini tangguh menjadi runtuh. Anak-anak bersekolah dengan baju
lusuh dan karung bekas sebagai tas sekolah dengan senyum ikhlas. Jika aku
sering prihatin dan merasa keadaan ekonomiku lemah aku merasa diinjak dari
ketidakbersyukuranku pada hidup karena
anak-anak pedalaman yang kutemui di desa-desa yang jauh dari kota hanya
akan makan pisang di tengah hutan karet, atau memetik buah kopi merah matang
menjadi cemilan.
Aku
pulang. Kembali aku menata diri Tapi aku tak akan pernah berhenti hanya sampai
di sini. Dan berbangga diri pada tempat yang sama. Pak Dhimas pernah mengajariku
tentang makna perjuangan yaitu, ketika kami mendaki gunung dengan usianya yang
sudah kepala empat. Dengan napas tersengal-sengal di jalan tetapi tetap
melanjutkan. Aku harus bangkit lagi.
![]() |
Pak Dhimas mendaki Gunung Sumbing bersama Ronal dan teman-temannya |
![]() |
Pak Dhimas mandi bersama Ronal dan teman-temannya di Kalianget |
![]() |
Pak Dhimas di Stasiun Kereta bersama murid-murid untuk maen ke Pantai Sumberlawang |
![]() |
Pak Dhimas menjadi vokalis band siswa |
![]() |
Pak Dhimas di acara ulang tahun salah satu muridnya |
Sementara
itu guruku masih sama. Masih menghubungiku. Masih berbincang-bincang tentang
agama, politik, negara bahkan hal-hal kecil yang mungkin dirasa tidak penting
tetapi selalu saja menjadi bahan perbincangan pada lautan ilmu yang tidak lagi
bisa ditemukan hanya sebatas dari bangku sekolah dan sekat-sekat sosial. Aku
menjadi sadar bahwa pembelajaran sejati dari guruku adalah pada rasa
solidaritas dan persahabatan bukan lagi pada batasan status sosial antara guru
dengan murid.
Ronal mengakhiri ceritanya dengan mata berkaca-kaca mengenang gurunya.
Aku diam tak bisa bicara. Mulutku terkunci tenggorokanku tercekat. Jika selama
ini aku bangga menjadi guru pada sebuah madrasah ternama di kota pelajar pula,
dan merasa cukup hebat memberi inspirasi pada murid-muridku; lalu apa predikat
yang harus aku sematkan pada sosok Pak Dhimas seorang guru dari daerah
pedalaman semacam itu? Hm... madrasah adalah sebuah fenomena. Dari sana bisa
muncul emas-berlian sejati yang betul-betul murni tanpa perlu embel-embel ‘karat’.
Jika sekolah selain madrasah bisa mencitrakan dirinya sebagai air kelapa yang
memiliki banyak khasiat dan berkualitas tinggi, maka madrasah cukuplah sebagai
air suci yang mensucikan.
(Adakah
yang lebih dari itu?)
Wallahu
a’lam.
2 komentar:
Siip mantap pak
Thx Rama....
Post a Comment