(Tulisanku ini memenangkan lomba Kisah Inspiratif Madrasah tahun 2013, dan masuk finalis 10 terbaik nasional)
Menjadi
guru pada sebuah madrasah adalah sebuah keinginan terpendam yang sangat dalam
bagiku. Begitu dalamnya keinginan itu sehingga sedikitpun tak berani aku
ceritakan apa yang tertulis di dinding hati sebagai sebuah epitaf itu pada
keluarga, kekasih yang menjadi calon istriku waktu itu, sahabat-sahabatku atau
siapapun. Karena, keingininan itu nyaris sesuatu yang utopis.
Takdir
menuntunku kuliah di jurusan teknik sebuah institut keguruan ternama di
Yogyakarta. Rangkaian istikharah yang panjang mengantarkan pensil 2B di
tanganku untuk mengisi jurusan itu saat menempuh jalur UMPTN tahun 1991. Tentu
saja teman-teman sekelasku juga keluargaku tak percaya dengan pilihan kuliah
bidang keguruan teknik itu. Mengingat tak sedikitpun aku memiliki bakat teknik
dan tak memiliki cita-cita menjadi guru. Aktivitasku lebih banyak pada bidang
humaniora, organisasi dan mendalami jalan sufi.
Praktik
Pengajaran Lapangan (PPL) menjadi titik balik kesadaranku setelah tiga tahun
kuliah. Sebagai mahasiswa calon guru teknik tentu saja PPL mendapat tempat
sebuah di STM (sekarang SMK). Menerapkan ilmu-ilmu keguruan yang kudalami
kepada dunia nyata anak-anak sekolah yang lebih dominan menggunakan okolnya daripada
akal (apalagi budi) membawa perenungan yang subtil dalam hidupku. Aku merasa
tidak tepat jika harus berada di sebuah sekolah yang ‘keras’ macam ini.
Alangkah indahnya jika menjadi guru madrasah, batinku. Siswa-siswanya yang
takzim dan lembut, berada dalam suasana penuh ulama setiap hari dan senantiasa
diperdengarkan ayat-ayat suci serta diperlihatkan hikmah-hikmah kaligrafi di
dinding. Ah...alangkah damainya hidup semacam itu, lagi-lagi itu hanya ada
dalam batinku. Setiap pagi berangkat kerja dengan setiap langkah adalah ibadah,
dan setiap tanggal muda mendapat gaji penuh berkah. Masya Allah, rasanya syurga
di dunia sudah begitu dekatnya, begitulah anganku. Tetapi tentu saja hal itu
mustahil. Aku adalah guru teknik dan tentu saja madrasah tidak membutuhkan guru
teknik.
Takdir
Allah melalui pensil 2B yang menggerakkan tanganku memilih jurusan keguruan
teknik rupanya terbuka sesaat setelah aku wisuda sarjana. Dibukalah seleksi
guru teknik untuk madrasah pertama kalinya oleh Departemen Agama (waktu itu)
pada tahun 1997. Alhamdulillah aku diterima dan menjadi guru madrasah.
Nampaknya epitaf di dinding hatiku dibaca malaikat dan disampaikan kepada
Allah. Walllahu’alam. Faktanya, aku adalah guru madrasah, dan aku bangga.
(untuk melanjutkan klik Permalink)
(untuk melanjutkan klik Permalink)