Tuesday, October 9, 2012

Retrospeksi Ulang Tahun Jogjakarta Hadiningrat

Berangkat kerja dengan Busana Jawa
Anak-anak Sekolah merayakan Ultah Jogja
Ada yang beda pagi ini ketika aku berangkat sekolah untuk tugas mulia mencerdaskan kehidupan bangsa (wuih, he...he...), tampak pemandangan unik di jalan-jalan sepanjang kota Jogjakarta. Dari rumahku di kawasan Karangwaru yang merupakan kawasan utara kota Jogja kususuri Jalan hingga Kawasan Jalan Kusuma Negara untuk mengantarkan anakku yang sekolah di SMA 8 Yogyakarta. Track yang kulewati cukup panjang sehingga cukup banyak pula keunikan kujumpai di Jalanan yakni anak-anak sekolah dan orang-orang dewasa dalam balutan busana Jawa menuju sekolah atau tempat kerja masing-masing. Ya,... mereka merayakan ulang tahun Jogjakarta yang ke-256 di tahun 2012 ini dengan berbusana Jawa sembari tetap beraktivitas seperti biasa.

Banyak yang bertanya-tanya tentang ulang tahun yang jatuh 7 Oktober ini ulang tahun kota Jogja ataukah Provinsi DIY?
Jika dirunut ke belakang, Pangeran Mangkubumi mendapat kekuasaan atas tanah Mataram bagian Barat Sungai Opak (sungai yang membelah kawasan Candi Prambanan) setelah perjanjian  Giyanti tahun 1755 M. Sementara sisi timur Sungai Opak di bawah kekuasaan Susuhunan Pakubuwana III yang kerajaannya berpusat di Surakarta.
Kawasan Mataram adalah wilayah yang dihadiahkan kepada Kyai Ageng Pemanahan oleh Sultan Pajang (Kerajaan di sekitar Solo sebelum Kasunanan Surakarta berdiri) atas jasanya bersama Sultan Hadi Wijaya (putranya) berhasil mengalahkan Aryo Penangsang (yang dianggap sebagai pemberontak kerajaan). Hadiah ini diberikan tercatat tahun 1527 M. Jadi, pada saat perjanjian Giyanti diputuskan, wilayah Mataram yang semula berpusat di Kota Gede sudah merupakan daerah yang 'Rejo' apalagi pernah mengalami masa jaya pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma memerintah (1613-1645 M). Sebelum 1527 M daerah ini merupakan hutan belantara yang disebut alas Mentaok.
Pangeran Mangkubumi selanjutnya melegalkan kekuasaannya dengan membangun Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat dan menerbitkan piagam pendirian Kerajaan Ngayogyakarta yang merdeka dan berdaulat yang ditanda tangani pemerintahan Kolonial Belanda pada 7 Oktober 1756 M. Pangeran Mangkubumi kemudian menyandang gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I. Inilah tonggak yang dijadikan dasar Ulang Tahun Kota Yogyakarta. Hingga masa perang kemerdekaan Indonesia, wilayah yang berada di bawah kekuasaan Keraton Ngayogyakarto adalah wilayah merdeka dari rengkuhan kolonialisme Belanda. Itulah yang menjadikan ISTIMEWA-nya yogyakarta.
Berikut foto-foto suasana Jogja tempo doeloe :
Tugu ini buatan Belanda th 1889. Tugu Asli yang didirikan HB I runtuh akibat Gempa dahsyat

Pasar Beringharjo diambil dari arah selatan (sekitar awal 1900-an)
Pembuat Garam di Pantai Parang Tritis (sekitar awal 1900-an)

Suasana Sekaten di Alun-alun Utara (sekitar awal kemerdekaan)


















Saat ini Jogjakarta menjadi kota besar yang terkenal hingga manca negara. Rakyatnya hidup tenteram dan damai dibawah pemerintahan Raja Sri Sultan HB X yang setelah beberapa tahun diguncang prahara politik tentang kedudukan beliau sebagai Gubernur Provinsi DIY. Sebagian kalangan berpendapat demi menegakkan demokrasi, maka jabatan guberbur harus melalui mekanisme pilkada. Sementara rakyat Jogja sendiri justru menginginkan Sri Sultan sebagai Raja otomatis juga penguasa wilayah teritorial Provinsi DIY melalui penetapan. Perjuangan yang cukup santun dan bersahaja bahu membahu antara raja dan rakyat menghasilkan keputusan Pemerintah RI mengakui keistimewaan DIY dengan tetap menjadikan Raja sebagai Gubernur.
Jika mencermati kehidupan di Jogja saat ini yang sempurna sebagai kota yang paling layak huni ( Hasil indeks persepsi kenyamanan 12 kota di Indonesia oleh IAP=Ikatan Ahli Perencana), berbagai fasilitas publik yang mudah dijangkau serta murah, dan pelayanan publik yang bebas korupsi kolusi, maka ini dianggap sebagai sebuah lompatan besar. Mengingat keberadaan Jogja baru mulai pada abad 15 (dengan Ki Ageng Pemanahan sebagai cikal bakal) yang sebelumnya adalah sebuah hutan belantara. Dibandingkan dengan kota Solo, Boyolali, Salatiga, Demak,  yang sudah eksis terlebih dahulu; bahkan Magelang (Kedu) yang sudah berdiri Kerajaan Syailendra pada Abad ke 7 memang Jogja lebih muda. Tak bisa dibayangkan, saat Wangsa Syailendra hiruk pikuk membangun Candi Borobudur dan Wangsa Sanjaya membangun Candi Prambanan; kawasan Jogja adalah hutan belantara! Dan kini kita bisa menyaksikan perkembangan masing-masing kota.
Jika silsilah pendiri Jogja masih bisa ditelusuri hingga saat ini, bagaimana dengan silsilah Wangsa Syailendra dan Wangsa Sanjaya? Atau setidaknya dimanakah kantung-kantung pemeluk Budha yang manghasilkan karya agung Borobudur serta pemeluk Hindu yang menghasilkan Prambanan? hm....pepatah mengatakan 'MASA KINI ADALAH KUNCI MASA LALU', so jangan-jangan aku yang dilahirkan di Kedu dari Ibu yang berdarah Jogja ini nenek moyangnya pernah hidup di masa Syailendra ya? (andai aku punya mesin waktu....)
Mesin waktu : berkelana ke masa lalu dan masa depan