Friday, December 13, 2013

Madrasah adalah Air Suci yang Mensucikan

(Tulisanku ini memenangkan lomba Kisah Inspiratif Madrasah tahun 2013, dan masuk finalis 10 terbaik nasional)

Menjadi guru pada sebuah madrasah adalah sebuah keinginan terpendam yang sangat dalam bagiku. Begitu dalamnya keinginan itu sehingga sedikitpun tak berani aku ceritakan apa yang tertulis di dinding hati sebagai sebuah epitaf itu pada keluarga, kekasih yang menjadi calon istriku waktu itu, sahabat-sahabatku atau siapapun. Karena, keingininan itu nyaris sesuatu yang utopis.
Takdir menuntunku kuliah di jurusan teknik sebuah institut keguruan ternama di Yogyakarta. Rangkaian istikharah yang panjang mengantarkan pensil 2B di tanganku untuk mengisi jurusan itu saat menempuh jalur UMPTN tahun 1991. Tentu saja teman-teman sekelasku juga keluargaku tak percaya dengan pilihan kuliah bidang keguruan teknik itu. Mengingat tak sedikitpun aku memiliki bakat teknik dan tak memiliki cita-cita menjadi guru. Aktivitasku lebih banyak pada bidang humaniora, organisasi dan mendalami jalan sufi.
Praktik Pengajaran Lapangan (PPL) menjadi titik balik kesadaranku setelah tiga tahun kuliah. Sebagai mahasiswa calon guru teknik tentu saja PPL mendapat tempat sebuah di STM (sekarang SMK). Menerapkan ilmu-ilmu keguruan yang kudalami kepada dunia nyata anak-anak sekolah yang lebih dominan menggunakan okolnya daripada akal (apalagi budi) membawa perenungan yang subtil dalam hidupku. Aku merasa tidak tepat jika harus berada di sebuah sekolah yang ‘keras’ macam ini. Alangkah indahnya jika menjadi guru madrasah, batinku. Siswa-siswanya yang takzim dan lembut, berada dalam suasana penuh ulama setiap hari dan senantiasa diperdengarkan ayat-ayat suci serta diperlihatkan hikmah-hikmah kaligrafi di dinding. Ah...alangkah damainya hidup semacam itu, lagi-lagi itu hanya ada dalam batinku. Setiap pagi berangkat kerja dengan setiap langkah adalah ibadah, dan setiap tanggal muda mendapat gaji penuh berkah. Masya Allah, rasanya syurga di dunia sudah begitu dekatnya, begitulah anganku. Tetapi tentu saja hal itu mustahil. Aku adalah guru teknik dan tentu saja madrasah tidak membutuhkan guru teknik.
Takdir Allah melalui pensil 2B yang menggerakkan tanganku memilih jurusan keguruan teknik rupanya terbuka sesaat setelah aku wisuda sarjana. Dibukalah seleksi guru teknik untuk madrasah pertama kalinya oleh Departemen Agama (waktu itu) pada tahun 1997. Alhamdulillah aku diterima dan menjadi guru madrasah. Nampaknya epitaf di dinding hatiku dibaca malaikat dan disampaikan kepada Allah. Walllahu’alam. Faktanya, aku adalah guru madrasah, dan aku bangga.
(untuk melanjutkan klik Permalink)