Tuesday, March 20, 2012

Agnotisme

Seorang murid dari ujung barat pulau Jawa berkirim email
Pak, sepertinya buku bertrand russel juga akan memberikan seuatu kepadaku, aku sedang dilanda kebingungan dengan keyakinanku sendiri,apakah dosa itu ada, apakah tuhan itu kejam?
sekian dulu email dariku, aku berharap bapak tetap menjadi hegelku,,,my lovely hegel, dan tetaplah memberiku inspirasi....
your boy,

Secara umum, seseorang yang berkeyakinan agama tertentu (atau setidaknya menganut paham mistisisme) mempercayai tiga hal. Yakni percaya pada Tuhan (atau sejenis kekuatan ‘supra’ lainnya), percaya pada utusan Tuhan bagi manusia di bumi, dan percaya pada kehidupan keabadian setelah kematian (immortality). Percaya pada hari pembalasan menjadi modus bagi kaum beragama untuk mengabarkan tentang kebaikan. Karena perbuatan jahat di muka bumi akan membuahkan hukuman dan siksa di ‘hari kemudian’ demikian pula sebaliknya. Perbuatan baik yang dilakukan di bumi semata-mata untuk tabungan kebaikan di kehidupan berikutnya.
Maka, pertanyaan seorang murid yang tangah dan tak henti-hentinya berkontemplasi dengan kehidupan, tentang siksa neraka menjadi menarik untuk dielaborasi.
Iman dan kepercayaan
Seseorang yang membutuhkan agama untuk mencapai tujuan-tujuannya sendiri adalah orang yang takut. Kepercayaan adalah kejahatan karena ia berarti menambahkan lebih banyak arti pada bukti melebihi yang diperlukan. Kita seringkali menggunakan kepercayaan pada hal-hal yang meragukan, belum pasti kebenarannya, atau paling tidak masih debatable statusnya. Kita tidak pernah membicarakan kepercayaan pada tabel perkalian, misalnya. Maka, Iman adalah kejahatan, karena ia berarti memercayai dalil ketika tidak ada alasan yang sahih untuk mempercayainya (Bertrand Russel, dalam : “Bertuhan tanpa Agama”).
Russel adalah seorang agnosis. Dia menunda ....(click Permalink to continue....)
untuk percaya pada Tuhan, Nabi dan hari Akhir sampai ada hal-hal yang secara sahih dan memadai dapat dibuktikan kebenarannya. Konsep kebaikan dan kejahatan tidak didasarkan pada perintah Tuhan, Nabi, atau motivasi hari akhir. Tidak juga pada hati nurani. Melainkan pada empati. Konsep empati ia terapkan untuk mendorong orang-orang putus asa tidak dengan dalil-dalil melainkan dengan sebuah logika sederhana :
“Saya akan mendorong orang yang putus asa dengan menunjukkan sesuatu yang bias ia capai. Pada diri kita terdapat sesuatu yang bias kita lakukan, dan kita akan menjadi lebih baik dengan melakukannya. Tidak perlu melibatkan agama. Selalu ada banyak hal yang perlu Anda kerjakan. Misalkan ia berupa kebaikan Anda sendiri. Anda makan pagi tetapi Anda tidak peduli pada agama. Jika Anda peduli pada orang lain Anda akan membutuhkan sangat sedikit agama untuk menyediakan mereka makan pagi. Selalu ada sesuatu yang bisa Anda lakukan untuk orang lain, dan saya memasukkan Anda di dalamnya. Anda tidak memerlukan agama untuk mengetahui hal ini, Anda hanya membutuhkan tindakan rasional atas apa yang mungkin (dilakukan)” (p. 120)
Tentang dosa dan neraka.
Mengenai konsep ‘dosa’, ia menganggapnya bukan konsep yang berguna. Tentu saja, ia mengakui bahwa sebagian jenis tingkah laku diinginkan dan sebagian tidak diinginkan, tetapi ia berpendapat hukuman atas jenis tindakan yang tidak diinginkan hanya dijatuhkan untuk pencegahan atau perbaikan, bukan dijatuhkan karena hukuman tersebut dianggap hal yang baik dalam dirinya sehingga orang yang bersalah harus menanggungnya. Kepercayaan pada hukuman pembalasan inilah yang menjadikan orang menerima neraka. Inilah sebagian bahaya dari gagasan ‘dosa’.
Setiap orang melakukan apa saja yang ia sukai. Misalnya, Anda sangat membenci seseorang sehingga Anda ingin membunuhnya. Mengapa Anda tidak melakukannya? mungkin Anda menjawab : ‘Karena agama mengajarkan pada saya bahwa membunuh itu dosa’. Tetapi sebagai data statistik, penganut agnostik tidak lebih cenderung membunuh dibanding yang lain, pada kenyataannya lebih kecil kecenderungannya. Saya kira setiap orang yang mengkaji sejarah masa lampau dengan cara yang adil akan sampai pada kesimpulan bahwa agama telah menyebabkan lebih banyak penderitaan daripada mencegahnya (p.40).

Russel, bukanlah seorang komunis. Komunisme, menurut Russel tidak menentang agama, ia hanya menentang agama Kristen demikian juga Islam. Russel adalah sebagian kecil dari orang-orang yang gelisah dengan perkembangan peradaban kemanusiaan saat ini. Kita tengah berada di jaman kemerosotan moral, katanya. Dan indikasi kemajuan moral adalah adanya simpati yang meluas. Sayangnya sejauh ini agama belum memiliki fungsi yang siginifikan dalam hal meluasnya rasa simpati kemanusiaan (kalau tidak ingin dikatakan sebalik, seperti pertikaian antar dan interagama, misalnya).
“Rasa takut adalah induk dari kekejaman, karenanya tidak mengherankan jika kekejaman dan agama berjalan beriringan. Ini karena rasa takut menjadi dasar bagi keduanya. Di dunia ini kita sekarang bisa mulai sedikit memahami sesuatu, dan sedikit demi sedikit menguasainya dengan bantuan sains, yang secara bertahap bergerak maju melawan agama dan melawan semua ajaran-ajaran lama. Sains bisa membantu kita menghilangkan penjara ketakutan. Hati kita sendiri pun bisa mengajari kita, untuk tidak lagi mencari dukungan semu, tidak lagi mencari sekutu di langit, tetapi melihat pada upaya kita sendiri di bawah langit untuk menjadikan dunia ini sebagai tempat yang cocok ditempati, bukannya semacam tempat yang dibangun oleh agama-agama dogma selama berabad-abad (p.99).”

Russel, menurut para koleganya, lebih saleh dari orang-orang beragama yang mereka kenal. Maka, meski kurang tepat, buku kumpulan esainya yang berjudul Russel on Religion diterjemahkan menjadi “Bertuhan tanpa agama”
Wallahua’alam bishshawab

0 komentar: