Monday, April 28, 2014

Papa dan Bidadari Kecilnya

Bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang bekerja di perantauan, yang ikut suaminya merantau di luar luar kota atau luar negeri, yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orangtuanya, biasanya akan sering merasa kangen sekali dengan Mamanya.

Lalu bagaimana dengan Papa?

Mungkin karena Mama lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari,
Tapi tahukah kamu, jika ternyata Papa-lah yang mengingatkan Mama untuk meneleponmu?

Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, Mama-lah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau mendongeng,
Tapi tahukah kamu, bahwa sepulang Papa bekerja dan dengan wajah lelah Papa selalu menanyakan pada Mama tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian?



Pada saat dirimu masih seorang anak perempuan kecil…
Papa biasanya mengajari putri kecilnya naik sepeda. Dan setelah Papa menganggapmu bisa, Papa akan melepaskan roda bantu di sepedamu…  
Kemudian Mama bilang : “Jangan dulu Papa, jangan dilepas dulu roda bantunya”,  Mama takut putri manisnya terjatuh lalu terluka…
Tapi sadarkah kamu?
Bahwa Papa dengan yakin akan membiarkanmu, menatapmu, dan menjagamu mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya PASTI BISA.
(untuk melanjutkan klik Permalink)

Friday, December 13, 2013

Madrasah adalah Air Suci yang Mensucikan

(Tulisanku ini memenangkan lomba Kisah Inspiratif Madrasah tahun 2013, dan masuk finalis 10 terbaik nasional)

Menjadi guru pada sebuah madrasah adalah sebuah keinginan terpendam yang sangat dalam bagiku. Begitu dalamnya keinginan itu sehingga sedikitpun tak berani aku ceritakan apa yang tertulis di dinding hati sebagai sebuah epitaf itu pada keluarga, kekasih yang menjadi calon istriku waktu itu, sahabat-sahabatku atau siapapun. Karena, keingininan itu nyaris sesuatu yang utopis.
Takdir menuntunku kuliah di jurusan teknik sebuah institut keguruan ternama di Yogyakarta. Rangkaian istikharah yang panjang mengantarkan pensil 2B di tanganku untuk mengisi jurusan itu saat menempuh jalur UMPTN tahun 1991. Tentu saja teman-teman sekelasku juga keluargaku tak percaya dengan pilihan kuliah bidang keguruan teknik itu. Mengingat tak sedikitpun aku memiliki bakat teknik dan tak memiliki cita-cita menjadi guru. Aktivitasku lebih banyak pada bidang humaniora, organisasi dan mendalami jalan sufi.
Praktik Pengajaran Lapangan (PPL) menjadi titik balik kesadaranku setelah tiga tahun kuliah. Sebagai mahasiswa calon guru teknik tentu saja PPL mendapat tempat sebuah di STM (sekarang SMK). Menerapkan ilmu-ilmu keguruan yang kudalami kepada dunia nyata anak-anak sekolah yang lebih dominan menggunakan okolnya daripada akal (apalagi budi) membawa perenungan yang subtil dalam hidupku. Aku merasa tidak tepat jika harus berada di sebuah sekolah yang ‘keras’ macam ini. Alangkah indahnya jika menjadi guru madrasah, batinku. Siswa-siswanya yang takzim dan lembut, berada dalam suasana penuh ulama setiap hari dan senantiasa diperdengarkan ayat-ayat suci serta diperlihatkan hikmah-hikmah kaligrafi di dinding. Ah...alangkah damainya hidup semacam itu, lagi-lagi itu hanya ada dalam batinku. Setiap pagi berangkat kerja dengan setiap langkah adalah ibadah, dan setiap tanggal muda mendapat gaji penuh berkah. Masya Allah, rasanya syurga di dunia sudah begitu dekatnya, begitulah anganku. Tetapi tentu saja hal itu mustahil. Aku adalah guru teknik dan tentu saja madrasah tidak membutuhkan guru teknik.
Takdir Allah melalui pensil 2B yang menggerakkan tanganku memilih jurusan keguruan teknik rupanya terbuka sesaat setelah aku wisuda sarjana. Dibukalah seleksi guru teknik untuk madrasah pertama kalinya oleh Departemen Agama (waktu itu) pada tahun 1997. Alhamdulillah aku diterima dan menjadi guru madrasah. Nampaknya epitaf di dinding hatiku dibaca malaikat dan disampaikan kepada Allah. Walllahu’alam. Faktanya, aku adalah guru madrasah, dan aku bangga.
(untuk melanjutkan klik Permalink)

Friday, April 12, 2013

Roro Jonggrang dalam Perspektif Sejarah

Akhir Maret 2013 anakku 'Aan' yang masih kelas X di SMA 8 Yogyakarta pentas teater di Taman Budaya Yogyakarta. Jika selama ini aku melihat TBY adalah sebuah artefak seni bermenara gading, maka kini aku merasa menjadi salah satu entitasnya. Itu karena tentu saja yang sedang bermain peran salah satunya adalah darah dagingku sendiri. Kini merasa benar-benar telah menjadi warga budaya Yogyakarta.

Joan Thompson Pelajar AS turut pentas
Lakon yang diperankan kali ini adalah Roro Jonggrang. Ini adalah pementasannya kedua setelah sukses pentas pertama di Gedung Teater Pujokusomo UNY akhir November 2012 lalu. Kisah cinta Roro Jonggrang dan Bandung Bandawasa tentu tidak asing lagi di telinga kita. Tentang cinta besar Bandung Bandawasa kepada Roro Jonggrang namun Jonggrang menolak 'dimiliki' dengan memberinya tantangan untuk membangun 1000 candi dalam waktu semalam. Oleh karena kesaktian Bandawasa dengan mengerahkan pasukan makhluk halus (atau alien kali? he...he....gosipnya candi-candi besar Indonesia dibangun oleh Alien) mampu menyelesaikan tantangan itu namun Jonggrang berhasil menggagalkan ketika kurang satu candi bunyi lesung para mbok emban Jonggrang bertalu-talu dan membuat makhluk halus itu kabur dikiranya sudah terbit fajar. Gagal lah Bandung menyelesaikan tantangan cinta ini.

Diselimuti angkara murka yang membuncah, Bandung pun gelap mata dan menyihir Jonggrang menjadi patung untuk melengkapi menjadi candi ke-1000. Dan kini kita bisa menikmati patung Roro Jonggarang itu di Kompleks Candi Prambanan. Aku sudah berkali-kali bertandang ke sana dan melihat kecantikan patung Roro Jonggrang dan menjumpai kisah-kisah mitos putusnya orang yang berpacaran di Candi Prambanan. Namun pertanyaan besar muncul setelah menyaksikan pentas teater anakku tersebut. Apakah ada sisi sejarah yang bisa dijelaskan dari kisah itu? apalagi diceritakan dalam lakon itu bahwa Bandung Bandawasa itu adalah putra mahkota Kerajaan Pengging. hah??? kok Pengging? ini menghenyak kesadaran sejarahku.

Pertama, selama ini aku berpikir kisah Roro Jonggrang jadi patung hanyalah mitos dan sebuah dongeng rakyat pengantar bobo anak kecil. Sebuah sastra tutur tentu sangat sulit dikaitkan dengan artefak-artefak arkeologis sehingga seringkali dijauhkan dari entitas ilmu sejarah.
(untuk melanjutkan klik permalink)

Tuesday, February 26, 2013

Ziarah Sosial di Pedalaman Baduy

Sebelas tahun lalu, tepat aku melakukan perjalanan ke pedalaman Baduy. Tiba-tiba saja malam ini aku kangen mengenang betapa subtilnya pengalaman rohani yang aku dapati. Sore tadi aku terlibat pembicaraan santai yang serius bersama Ragil seorang sarjana Filsafat UGM yang kini tengah asyik dengan kafe Philokopie buatannya di Jakal km 5.5. Obrolan ringan di kafe itu tak terasa tiga jam lamanya hingga aku tak terasa menghabiskan dua cangkir ground kopi Toraja. Ragil yang alumni MAN Wonosobo tempat dimana dulu pernah aku mengabdi menjadi guru tengah diserang badai 'serotonin' atas apa yang akhir-akhir ini sedang dialami dalam hidupnya. Empat tahun lebih belajar filsafat di UGM rasanya menjadi nadir ketika sebuah peristiwa kecil mengaduk-aduk ruang simulakra di kepalanya. Itu adalah sebuah peristiwa sederhana. Tetapi tak cukup satu rak buku filsafat mampu menjelaskan apa yang sebenarnya tengah terjadi.

Ya,... perisitiwa sederhana yang kadang menjadi titik balik kehidupan seseorang. Seperti sederhananya perjalananku ke pedalaman Baduy tahun 2002 lalu dan berdampak besar pada kehidupanku sampai saat ini. Tak mudah aku menuliskannya apa yang kurasakan saat itu di blog yang terbatas ini. Harus menyalin ulang buku harian yang kutulis waktu itu. Untunglah ketika browsing-browsing menemukan tulisan ini yang ketika kubaca nyaris serupa dengan pengalaman yang aku alami ketika pertama menginjakkan kaki di Baduy. Padahal tulisan di bawah ini kisahnya terjadi 54 tahun lalu! hm....
Kata kunci yang ada dalam kepalaku saat masuk ke kamarnya mbah Google adalah perjalanan ziarah ke Badui. Dan yang kudapat adalah artikel ini berjudul :  Baduy – Sebuah Perjalanan Batin Ke Suku Kuno tahun 1959. Sebuah kontemplasi yang serupa kurasa. Bahkan artikel ini ditulis Pebruari 2010 (kini aku menulis Pebruari 2013) dan perjalanan aslinya terjadi Januari 1959 (sementara perjalananku Januari 2002). Ragil pasti akan tertawa seraya berkata tidak percaya dengan yang namanya 'kebetulan', 'sign' atau apalah... bagiku ini adalah sebuah COSMIC CONSCIOUS....

__________________________________________________________


 Baduy – Sebuah Perjalanan Batin Ke Suku Kuno tahun 1959 (http://artshangkala.wordpress.com)
Oleh : Suria Saputra.
Keterangan :
  • Ini merupakan cuplikan dari buku yang berjudul BADUY tahun 1959 oleh Suria Saputra, yang merupakan hasil perjalanannya ke Suku Kuno Baduy (Kanekes). Buku ini terdapat dalam Perpustakaan Prof. Dr. Doddy A. Tisna Amidjaja (yang telah disalin kembali dalam bentuk EYD oleh para pengurusnya di tahun 1995).
  • Foto-foto di sini adalah hasil foto sesepuh Sunda, yaitu Ali Sastramidjaja. Dalam perjalanan lahir batinnya di tempat yang sama, Kanekes (Baduy) di tahun 1979.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * *
* * * * * * * * * * * * *
BADUY
Baduy Luar
Pada 5 hari bulan April 1950, cita‑cita saya untuk pergi ke Baduy baru dapat dilaksanakan.
Sebelum berangkat, kami cari dulu keterangan tentang tempat dan orang yang akan kami kunjungi dengan memajukan pertanyaan‑ pertanyaan kepada orang‑orang yang pernah pergi berziarah ke Baduy. Mereka kebanyakan adalah petani‑petani dan pedagang‑pedagang yang ingin maju dalam masing‑masing perusahaannya. Dan ada pula yang datang di Baduy untuk minta obat bagi keluarganya yang sakit, karena obat dokter tak dapat menolongnya. Maksud kedatangan mereka itu sepanjang katanya, ada yang berhasil, ada yang tidak.
Mereka yang datang ke sana dengan sesuatu maksud untuk memperbaiki nasibnya, sepanjang katanya tidak boleh bermalam disana, setelah mendapat jawaban yang diinginkannya, waktu itu juga ia harus berangkat pulang, tidak boleh menoleh ke belakang.
Setelah keterangan‑keterangan dikira cukup untuk bekal pertemuan pertama kami peroleh, barulah kami berangkat, ialah: Saya sendiri, Pak Atmawidjaja ‑ Kepala Sekolah Rakyat di kota Bogor, dan seorang wanita Ibu Arum Suwita. Ibu Arum ini adalah seorang wanita yang kuat berjalan kaki dan banyak pengalamannya, jauh perjalanannya. Demak, Madura, Tengger, Kalimantan, Ngampel dan tempat-tempat yang beriwayat lainnya telah dikunjunginya. Dan telah berkali-kali pula Ibu Arum ini pergi ke Baduy. (Untuk melanjutkan klik permalink)
*

Tuesday, October 9, 2012

Retrospeksi Ulang Tahun Jogjakarta Hadiningrat

Berangkat kerja dengan Busana Jawa
Anak-anak Sekolah merayakan Ultah Jogja
Ada yang beda pagi ini ketika aku berangkat sekolah untuk tugas mulia mencerdaskan kehidupan bangsa (wuih, he...he...), tampak pemandangan unik di jalan-jalan sepanjang kota Jogjakarta. Dari rumahku di kawasan Karangwaru yang merupakan kawasan utara kota Jogja kususuri Jalan hingga Kawasan Jalan Kusuma Negara untuk mengantarkan anakku yang sekolah di SMA 8 Yogyakarta. Track yang kulewati cukup panjang sehingga cukup banyak pula keunikan kujumpai di Jalanan yakni anak-anak sekolah dan orang-orang dewasa dalam balutan busana Jawa menuju sekolah atau tempat kerja masing-masing. Ya,... mereka merayakan ulang tahun Jogjakarta yang ke-256 di tahun 2012 ini dengan berbusana Jawa sembari tetap beraktivitas seperti biasa.

Banyak yang bertanya-tanya tentang ulang tahun yang jatuh 7 Oktober ini ulang tahun kota Jogja ataukah Provinsi DIY?
Jika dirunut ke belakang, Pangeran Mangkubumi mendapat kekuasaan atas tanah Mataram bagian Barat Sungai Opak (sungai yang membelah kawasan Candi Prambanan) setelah perjanjian  Giyanti tahun 1755 M. Sementara sisi timur Sungai Opak di bawah kekuasaan Susuhunan Pakubuwana III yang kerajaannya berpusat di Surakarta.
Kawasan Mataram adalah wilayah yang dihadiahkan kepada Kyai Ageng Pemanahan oleh Sultan Pajang (Kerajaan di sekitar Solo sebelum Kasunanan Surakarta berdiri) atas jasanya bersama Sultan Hadi Wijaya (putranya) berhasil mengalahkan Aryo Penangsang (yang dianggap sebagai pemberontak kerajaan). Hadiah ini diberikan tercatat tahun 1527 M. Jadi, pada saat perjanjian Giyanti diputuskan, wilayah Mataram yang semula berpusat di Kota Gede sudah merupakan daerah yang 'Rejo' apalagi pernah mengalami masa jaya pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma memerintah (1613-1645 M). Sebelum 1527 M daerah ini merupakan hutan belantara yang disebut alas Mentaok.
Pangeran Mangkubumi selanjutnya melegalkan kekuasaannya dengan membangun Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat dan menerbitkan piagam pendirian Kerajaan Ngayogyakarta yang merdeka dan berdaulat yang ditanda tangani pemerintahan Kolonial Belanda pada 7 Oktober 1756 M. Pangeran Mangkubumi kemudian menyandang gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I. Inilah tonggak yang dijadikan dasar Ulang Tahun Kota Yogyakarta. Hingga masa perang kemerdekaan Indonesia, wilayah yang berada di bawah kekuasaan Keraton Ngayogyakarto adalah wilayah merdeka dari rengkuhan kolonialisme Belanda. Itulah yang menjadikan ISTIMEWA-nya yogyakarta.
Berikut foto-foto suasana Jogja tempo doeloe :
Tugu ini buatan Belanda th 1889. Tugu Asli yang didirikan HB I runtuh akibat Gempa dahsyat

Pasar Beringharjo diambil dari arah selatan (sekitar awal 1900-an)
Pembuat Garam di Pantai Parang Tritis (sekitar awal 1900-an)

Suasana Sekaten di Alun-alun Utara (sekitar awal kemerdekaan)


















Saat ini Jogjakarta menjadi kota besar yang terkenal hingga manca negara. Rakyatnya hidup tenteram dan damai dibawah pemerintahan Raja Sri Sultan HB X yang setelah beberapa tahun diguncang prahara politik tentang kedudukan beliau sebagai Gubernur Provinsi DIY. Sebagian kalangan berpendapat demi menegakkan demokrasi, maka jabatan guberbur harus melalui mekanisme pilkada. Sementara rakyat Jogja sendiri justru menginginkan Sri Sultan sebagai Raja otomatis juga penguasa wilayah teritorial Provinsi DIY melalui penetapan. Perjuangan yang cukup santun dan bersahaja bahu membahu antara raja dan rakyat menghasilkan keputusan Pemerintah RI mengakui keistimewaan DIY dengan tetap menjadikan Raja sebagai Gubernur.
Jika mencermati kehidupan di Jogja saat ini yang sempurna sebagai kota yang paling layak huni ( Hasil indeks persepsi kenyamanan 12 kota di Indonesia oleh IAP=Ikatan Ahli Perencana), berbagai fasilitas publik yang mudah dijangkau serta murah, dan pelayanan publik yang bebas korupsi kolusi, maka ini dianggap sebagai sebuah lompatan besar. Mengingat keberadaan Jogja baru mulai pada abad 15 (dengan Ki Ageng Pemanahan sebagai cikal bakal) yang sebelumnya adalah sebuah hutan belantara. Dibandingkan dengan kota Solo, Boyolali, Salatiga, Demak,  yang sudah eksis terlebih dahulu; bahkan Magelang (Kedu) yang sudah berdiri Kerajaan Syailendra pada Abad ke 7 memang Jogja lebih muda. Tak bisa dibayangkan, saat Wangsa Syailendra hiruk pikuk membangun Candi Borobudur dan Wangsa Sanjaya membangun Candi Prambanan; kawasan Jogja adalah hutan belantara! Dan kini kita bisa menyaksikan perkembangan masing-masing kota.
Jika silsilah pendiri Jogja masih bisa ditelusuri hingga saat ini, bagaimana dengan silsilah Wangsa Syailendra dan Wangsa Sanjaya? Atau setidaknya dimanakah kantung-kantung pemeluk Budha yang manghasilkan karya agung Borobudur serta pemeluk Hindu yang menghasilkan Prambanan? hm....pepatah mengatakan 'MASA KINI ADALAH KUNCI MASA LALU', so jangan-jangan aku yang dilahirkan di Kedu dari Ibu yang berdarah Jogja ini nenek moyangnya pernah hidup di masa Syailendra ya? (andai aku punya mesin waktu....)
Mesin waktu : berkelana ke masa lalu dan masa depan

Wednesday, June 6, 2012

Gerhana Venus

Hari ini,  Selasa Kliwon 6 Juni 2012 adalah hari begitu istimewa bagi para pecinta astronomi (bukan lantaran ini adalah nepton Nina anakku sih, he...he...). Sebuah kejadian langka yang akan terjadi ratusan tahun lagi bisa diamati hari ini. Dan bagusnya dapat dilihat dengan mata telanjang meski harus dengan trik terntentu. Yaitu kejadian Gerhana Venus, kalau para astronom menyebutnya transit Venus. Yaitu venus melintas di depan Bumi saat bumi berhadapan langsung dengan Matahari. Mirip seperti gerhana bulan, dimana Matahari tampak tertutup oleh Bulan terlihat dari belahan Bumi wilayah tertentu. Ukuran Venus yang kecil dibanding Bumi tampak hanya setitik noktah pada cerahnya Matahari siang hari  Kejadian ini terjadi antara jam 10 sampai jam 13 siang tadi. Seperti tampak pada gambar di atas.

Nama Venus sering diasosiasikan dengan gender perempuan, sebagai lawan dengan Mars yang berkarakter maskulin. Nama ini diambil dari nama Dewi dalam mitologi Yunani yakni Dewi Venus yang menikah dengan Dewa Volcano. Dewi Venus adalah lambang kesuburan dan feminisme. Kemunculan planet yang berwarna cerah memantulkan sinar matahari tiap malam setelah Matahari terbenam tampak sebuah fenomena alam yang indah. Apalagi jika muncul bersamaan dengan munculnya bulan muda akan menjadi sangat eksotis penampakan di langit barat. Itulah sebabnya kecantikan dan keelokan perempuan yang fenomenal seringkali diidentikan dengan keindahan venus tiap hari ini.

Lalu, apa yang menarik dari fenomena Gerhana Venus? yang mungkin tidak ada kesan cantiknya sama sekali. Untuk melihatnya saja susah sekali. Dengan mata telanjang tanpa alat di teriknya Matahari tentu akan sangat menyakitkan mata. Maka teknik yang saya lakukan tadi siang adalah dengan menyediakan air di ember, saya lihat pantulan Matahari yang setitik ditutupi Venus ini di pantulan air. Tapi cara inipun masih sangat menyilaukan mata. Sehingga saya harus melihat dengan kaca helm yang lebih adem. Agak sulit juga melihat titik hitam itu. Tapi untunglah terlihat juga.

Yang membuatku ingin menulis di blog ini tentang Venus adalah, konon Venus ini adalah planet yang indah dan subur pada zamannya. Dikala waktu itu Bumi masih sangat primitif, pembentukan padatan dari magma yang membeku tengah terjadi. Seiring berjalannya waktu Matahari semakin tua dan ganas. Venus tergoreng oleh ganas panasnya Matahari, sehingga kini menjadi sebuah gumpalan magma lagi seperti saat awal kejadiannya di era awal the big bang. Fenomena tergorengnya Venus harus dipelajari (terlebih lagi saat satu garis dengan Bumi ini) untuk mengantisipasi hal yang sama terjadi pada Bumi. Pada masanya, Bumipun bakal digoreng Matahari dan menjadi gumpalan magma yang panas lagi yang tak mungkin dihuni makhluk hidup. Saat itu Mars tengah menuju kebangkitannya yang kedua. Dan makhluk hidup bermigrasi ke Mars atau malah disebut pulang kampung kali ya? Karena konon asal mula kehidupan di Bumi berasal dari Mars yang rusak karena salah kelola.

Hm...jika ada pernyataan segala sesuatu akan kembali pada asal muasalnya, maka inilah asal muasal kehidupan Bumi yakni dari Mars dan akan kembali ke Mars.
Wallahu a'lam.....

Wednesday, March 21, 2012

Remaja Blogging


Semua berawal dari futurolog Alvin Toffler yang sekian dekade lalu memprediksi bahwa suatu ketika dunia menjadi terasa begitu sempit, batas ruang dan waktu menjadi nisbi. Bahkan dikatakan bahwa umat manusia bisa dikatakan hanya tinggal dalam satu ‘kampung dunia’.

Kini gejala-gejala itu sudah mulai kita rasakan dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Pelajar dan sekaligus remaja adalah user paling aktif dalam memanfaatkan perkembangan dunia silikon ini. Seringkali para guru sebagai generasi tua justru merasa terkalahkan mindset teknologinya dengan komentar mereka “Gadget yang dimiliki murid-murid saya jauh lebih canggih dari yang saya miliki’. Bahkan orang tua cenderung mengalah untuk membelikan gadget yang lebih canggih bagi anaknya daripada miliknya sendiri.
(Tristiana Galuh (juara I), Pandu Rijal Pasha (juara III), Karina Maghvira (Juara Harapan I), Rahmi Novita (Juara Harapan II))

Fenomena lompatan kuantum teknologi informasi dan komunikasi bagi remaja ini harus disikapi dengan teknologi pula, agar anak-anak bisa ‘ngeli’ tanpa harus ‘keli’ (mengalir tanpa berarti hanyut). Blog adalah... (click Permalink to continue....)